Penyakit Jantung Bawaan
Adalah kelainan jantung yang terjadi pada bayi sejak dalam kandungan.
Janin dalam kandungan memiliki kompensasi yang baik terhadap kelainan
ini, sehingga tanpa kontrol kehamilan yang baik seringkali PJB tidak
terdiagnosa sebelum bayi dilahirkan. Setiap jenis PJB memiliki
penanganan yang berbeda satu sama lain, bergantung pada klasifikasi
(sianotik atau non sianotik), kelaianan struktur, dan keparahan defek
jantung.
Meskipun angka kejadian penyakit jantung bawaan (PJB) terhitung kecil
dan kurang mendapatkan perhatian, tetapi keberadaannya perlu dimengerti
oleh para orang tua. Sebuah survei di Hong Kong menyatakan bahwa
tingkat pengetahuan orang tua yang memiliki anak penderita PJB masih
kurang. Perlu disadari bahwa deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat
dan cepat sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan hidup bayi.
PJB adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang ditemukan sejak
bayi dilahirkan. Kelainan ini terjadi pada saat janin berkembang dalam
kandungan. Sebuah survei di Amerika Serikat menyatakan bahwa setiap
tahun sedikitnya 35.000 bayi menderita kelainan ini dan 90% di antaranya
dapat meninggal bila di tahun pertama kehidupan bayi tidak dilakukan
perawatan yang adekuat.
PJB yang paling banyak ditemukan adalah kelainan pada septum bilik
jantung atau dikenal dengan sebutan ventricular septal defect (VSD) dan
diikuti oleh kelainan pada septum serambi jantung atau lebih dikenal
dengan nama Atrial Septal Defect (ASD). Kedua kelainan jantung ini
sering dikenal dengan sebutan jantung bocor pada komunitas awam. Jenis
kelainan struktur lainnya dapat berupa patent ductus arteriosus,
transposition of great arteries, dan kelaianan katup jantung. Seringkali
PJB juga timbul dalam bentuk gabungan beberapa kelainan, seperti yang
terjadi pada tetralogi fallot, yang mencakup 4 kelainan pada jantung.
Sianotik dan asianotik
Secara garis besar, PJB dapat dibagi menjadi PJB sianotik dan PJB non
sianotik. Pada PJB sianotik, bayi baru lahir terlihat biru oleh karena
terjadi percampuran darah bersih dan darah kotor melalui kelainan pada
struktur jantung. Pada kondisi ini jaringan tubuh bayi tidak mendapatkan
cukup oksigen yang sangat berbahaya sehingga harus ditangani secara
cepat. Sebaliknya pada PJB non sianotik tidak ada gejala yang nyata
sehingga seringkali tidak disadari dan tidak terdiagnosa baik oleh
dokter maupun oleh orang tua. Gejala yang timbul awalnya berupa lelah
menyusui atau menyusui sebentar-sebentar dan gejala selanjutnya berupa
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan.
Bagaimana PJB dapat terjadi?
Penyebab terjadinya PJB belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ahli
menduga timbulnya PJB pada bayi-bayi baru lahir disebabkan oleh
gabungan beberapa faktor, diantaranya adalah infeksi virus rubella
(salah satu komponen agen penyebab kelainan bawaan pada janin yang
sering disebut dengan TORCH) pada saat kehamilan, penyakit gula pada
saat kehamilan, kebiasaan merokok, konsumsi obat tertentu seperti asam
retinoat untuk pengobatan jerawat, alkohol, dan faktor genetik atau
keturunan. Faktor keturuanan dapat dilihat apabila saudara kandung atau
orang tua dari bayi yang menderita PJB juga memiliki kelainan yang sama.
Pencegahan yang dapat dilakukan
Pemeriksaan antenatal yang rutin sangat diperlukan selama kehamilan.
Dengan kontrol kehamilan yang teratur, hal-hal yang dikaitkan sebagai
penyebab PJB diatas dapat dihindari atau dikenali secara dini. Hal ini
sangat penting untuk mencari solusi dari adanya faktor risiko yang
terdapat pada ibu hamil, sebagai contoh pada kasus ibu hamil dengan
penyakit gula, kadar gula darah harus dikontrol dalam batas normal
selama masa kehamilan.
Pemeriksaan antenatal juga dapat mendeteksi adanya PJB pada janin
dengan ultrasonografi (USG). Namun, pemeriksaan ini sangat tergantung
dengan saat dilakukannya USG, beratnya kelainan jantung dan juga
kemampuan dokter yang melakukan ultrasonografi. Umumnya, PJB dapat
terdeteksi pada saat USG dilakukan pada paruh kedua kehamilan atau pada
kehamilan lebih dari 20 minggu. Apabila terdapat kecurigaan adanya
kelainan jantung pada janin, maka penting untuk dilakukan pemeriksaan
lanjutan dengan fetal ekokardiografi. Dengan pemeriksaan ini, gambaran
jantung dapat dilihat dengan lebih teliti.
Selain itu, pencegahan dapat dilakukan pula dengan menghindarkan ibu
dari risiko terkena infeksi virus tertentu seperti virus rubella. Dalam
hal ini, penting dilakukan untuk dilakukan skrining sebelum merencanakan
kehamilan. Skrining ini yang juga dikenal dengan skrining TORCH adalah
hal yang rutin dilakukan pada ibu-ibu hamil di negara maju, namun di
Indonesia skrining ini jarang dilakukan oleh karena pertimbangan
finansial. Pencegahan infeksi virus rubella dapat dilakukan dengan cara
menghindari kontak erat dengan binatang berbulu yang belum diimunisasi
dan menghindari konsumsi makanan mentah / belum matang.
Konsumsi obat-obatan tanpa resep dokter juga harus dihindari karena
beberapa obat diketahui dapat membahayakan janin yang dikandungnya.
Khusus untuk obat-obatan yang sebelumnya atau saat hamil sedang
dikonsumsi harus dibicarakan secara khusus dengan dokter spesialis
kebidanan yang menangani pemeriksaan kehamilan.
Pemeriksaan yang dilakukan
Perlu diketahui, bahwa kelainan jantung pada janin di dalam kandungan
kebanyakan tidak menimbulkan gejala yang signifikan. Oleh karena itu
PJB seringkali tidak terdiagnosa sampai bayi dilahirkan. Pada PJB
sianotik, diagnosa dapat langsung dilakukan (bayi terlihat biru dan
sesak) dan membutuhkan penanganan yang cepat. Namun pada PJB non
sianotik, pemeriksaan fisik pada bayi barus lahir memegang peranan yang
terpenting. Apabila pada pemeriksaan fisik oleh dokter terdapat
kecurigaan kelainan jantung, maka beberapa pemeriksaan tambahan harus
dilakukan, antara lain ekokardiografi, elektrokardiografi (EKG),
roentgen (X-Ray) dada, oksimetri, sampai kateterisasi atau angiografi.
Namun dengan kemajuan teknik ekokardiografi, prosedur angiografi yang
invasif cenderung berkurang.
Terapi untuk PJB Dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu terapi medikamentosa, operatif
(operasi jantung terbuka) dan kateterisasi. Terapi medikamentosa
merupakan terapi tambahan untuk mencegah perburukan PJB dan untuk
menjaga stabilitas organ jantung setelah tindakan operasi atau
kateterisasi. Namun perlu diingat bahwa terapi medikamentosa bukan
terapi definitif untuk penanganan PJB. Metode operatif merupakan terapi
definitif yang utama, namun dengan perkembangan teknik kateterisasi
jantung yang semakin maju, saat ini kateterisasi lebih banyak dilakukan
oleh para dokter, mengingat risiko yang lebih minimal pada pasien
(meskipun metode operatif juga sangat aman). Banyak ahli menyatakan
lebih menyukai metode kateterisasi karena lebih nyaman untuk pasien
(terutama pada masa setelah operasi dilakukan) dan tidak menimbulkan
bekas operasi yang cukup besar di daerah dada. Namun tidak semua PJB
dapat ditangani dengan kateterisasi dan tetap membutuhkan metode
operatif.
Terapi yang tepat untuk penanganan PJB penting untuk mencegah
kematian bayi. Untuk PJB sianotik, biasanya tindakan operatif /
kateterisasi harus dilakukan dalam 1 tahun pertama kehidupan, setelah
organ-organ dalam tubuh bayi dianggap telah mampu untuk menjalani
tindakan. Namun, untuk kebanyakan PJB non sianotik terapi operatif /
kateterisasi dapat ditunda sampai usia pasien lebih besar karena
dianggap lebih aman untuk dilakukannya operasi dan pembiusan.
Namun diketahui pula bahwa beberapa jenis PJB tidak memerlukan
tindakan koreksi apapun, terutama untuk kelainan struktur jantung yang
ringan dan tidak menimbulkan gejala. Kebanyakan dari kasus-kasus ini
dapat diatasi hanya dengan obat-obatan atau bahkan tanpa obat-obatan
sekalipun. Tetapi sangat disayangkan sebagian besar PJB pada
kenyataannya harus mendapatkan tindakan terutama apabila gejala-gejala
gagal jantung sudah terlihat, seperti cepat lelah, sesak nafas atau
nafas yang cepat, dan pembesaran ruang jantung tertentu.
Di samping penanganan medikamentosa dan operatif/kateterisasi,
penanganan nutrisi juga harus diperhatikan untuk mencegah keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan pada penderita PJB. Tambahan susu formula
dengan kalori tinggi dan suplemen untuk air susu ibu sangat dibutuhkan
bayi dengan PJB, terutama untuk bayi-bayi yang lahir prematur, memilki
kelainan jantung berat (seperti defek jantung yang besar), dan bayi-bayi
yang cepat lelah saat menyusui. Artikel ini tidak membahas terapi
medikamentosa dan nutrisi lebih lanjut, namun penulis akan membahas
terapi operatif dan kateterisasi secara umum.
Metode operatif
Operasi jantung terbuka diperlukan pada kelainan jantung yang tidak
bisa ditangani dengan medikamentosa atau pada kelainan jantung yang
menunjukkan perburukan pada pasien yang hanya mendapatkan terapi
medikamentosa saja. Metode operatif juga dilakukan pada beberapa
kelainan jantung yang kompleks, terutama yang mencakup kelainan struktur
yang besar dan multipel, seperti pada tetralogi fallot, transposition
of great arteries, dan kelainan septum jantung yang sangat besar.
Setelah pembiusan umum dilakukan, dokter akan membuat sayatan pada
dada, menembus tulang dada atau rusuk sampai jantung dapat terlihat.
Kemudian fungsi jantung digantikan dengan sebuah alat yang berfungsi
untuk memompa darah ke seluruh tubuh yang dinamakan heart-lung bypass
yang juga menggantikan fungsi paru-paru untuk pertukaran oksigen.
Setelah itu jantung dapat dihentikan detaknya dan dibuka untuk
memperbaiki kelainan yang ada, seperti apabila terdapat lubang pada
septum jantung yang normalnya tertutup, maka lobang akan ditutup dengan
alat khusus yang dilekatkan pada septum jantung.
Bagi masyarakat awam, prosedur operasi yang demikian sangat
menakutkan, namun pada kenyataannya operasi ini sangat aman. Angka
kematian pada saat operasi relatif rendah dan waktu pemulihan juga
relatif singkat. Hanya dalam waktu 1 hari setelah operasi dilakukan
(untuk pasien anak dan dewasa), pasien dapat langsung dipindahkan ke
ruang perawatan biasa dari ruangan ICU. Namun, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, metode operatif ini memiliki beberapa kelemahan,
antara lain waktu operasi yang lama dan ketidaknyamanan pasien, karena
sebelum dilakukan operasi terdapat beberapa persiapan yang harus
dilakukan, dan setelah operasi dilakukan seringkali bekas tempat
sayatan masih terasa sakit. Di samping itu, bekas luka operasi juga akan
menimbulkan bekas di dada pasien. Dengan demikian, kebanyakan orang
lebih menyukai metode kateterisasi (apabila memungkinkan) daripada
metode operatif tersebut.
Kateterisasi
Selama 10 tahun terakhir, kemajuan terapi PJB sangatlah pesat
khususnya dalam kemajuan teknik kateterisasi. Saat ini, selain digunakan
sebagai alat diagnostik, kateterisasi juga dapat digunakan sebagai
salah satu cara pengobatan definitif untuk beberapa jenis PJB seperti
defek septum serambi jantung (ASD), Patent Ductus Arteriosus (PDA),
Pulmonary stenosis, Aorta Stenosis, dan defek septum bilik jantung tipe
muskular (mVSD). Bahkan pada sebuah penelitian di Polandia tahun 2007
tercatat bahwa metode kateterisasi ini juga mampu untuk menangani bentuk
VSD tersering yaitu tipe perimembaranosa yang sebelumnya harus diterapi
dengan metode operatif. Penemuan ini sangat bermanfaat mengingat VSD
adalah penyebab penyakit jantung bawaan tersering dan 70% di antaranya
adalah tipe perimembranosa. Defek septum ventrikel ini berhasil ditutup
dengan penutup septum jantung yang baru yang disebut dengan Amplatzer.
Penutup defek jantung lainnya dikenal dengan Cardioseal yang juga
memiliki efektivitas yang baik. Kedua penutup defek jantung di atas
(Amplatzer dan Cardioseal) memiliki mekanisme penutupan defek jangka
panjang yang berbeda.
Prosedur kateterisasi umumnya dilakukan dengan memasukkan kateter
atau selang kecil yang fleksibel didalamnya dilengkapi alat seperti
payung yang dapat dikembangkan untuk menutup defek jantung.
Kateter dimasukkan melalui pembuluh darah balik atau vena di pangkal
paha atau di lengan. Untuk membimbing jalannya kateter, dokter
menggunakan monitor melalui fluoroskopi angiografi atau dengan tuntunan
transesofageal ekokardiografi (TEE)/ekokardiografi biasa sehingga
kateter dapat masuk dengan tepat menyusuri pembuluh darah, masuk ke
dalam defek atau lubang, mengembangkan alat di ujung kateter dan menutup
lubang dengan sempurna. Prosedur ini dilakukan dalam pembiusan umum
sehingga anak tidak merasakan sakit.
Dengan kateterisasi, penyembuhan akan lebih cepat dan mudah karena
hanya membutuhkan sayatan yang sangat kecil di tempat memasukkan
kateter, serhingga tidak menimbulkan bekas luka operasi yang besar dan
nyeri yang dirasakan setelah prosedur kateterisasi relatif singkat.
Keberhasilan prosedur kateterisasi ini untuk penanganan PJB ini
dilaporkan lebih dari 90%. Namun, tetap diingat bahwa tidak semua jenis
PJB dapat diintervensi dengan menggunakan metode ini. Pada kasus defek
septum jantung yang terlalu besar dan kelainan struktur jantung tertentu
seperti jantung yang berada di luar rongga dada (jantung ektopik) dan
tetralogi fallot yang parah tetap membutuhkan meote operatif terbuka.
Referensi :
- DKL Cheuk, dkk. Parent’s Understanding of Their Child’s Congenital Heart Disease. Heart 2004;90;435-439.
- Mathias Sigler and Christian Jux. Biocompability of Septal Defect Closure Devices. Heart 2007;93;444-449.
- M Szkutnik, dkk. Use of The Amplatzer Muscular Ventricular Septal Defect Occluder for Closure of Perimembranous VentricularSeptal Defects. Heart 2007;93;355-358.
- Zhou Aiqing.The Present and Future of International Catheterization fo congenital heart disease.
0 Komentar untuk "Konsep WAP Penyakit Jantung Bawaan (tugas)"