BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lupus
dalam bahasa latin berarti “Anjing Hutan”. Istilah ini mulai dikenal sekitar
satu abad lalu. Gejala penyakit ini
dikenal sebagai Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES) alias Lupus
Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik bermakna menyebar luas
ke berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga
dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Bercak Malar /
Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar).
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan
pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang)
yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai
jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung
dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan
penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES
harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang
tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan
fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap
berperan dalam disregulasi sistem imun. Pada anak perempuan, awitan LES banyak
ditemukan pada umur 9-15 tahun.
Systemic
Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem
yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE
termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit
yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang
kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak
diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit
tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam
tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel
darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa
berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering
berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan
perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan
penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga
Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah
terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga
berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan,
dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang
timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya
tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal,
kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,
trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).
Penderita
dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar.
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan
induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada
perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka
pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu.
Obat-obat yang umum digunakan pada
terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory
Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormon,
imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan
transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami penjabaran tentang penyakit Systemic
Lupus Erythematosus (SLE).
1.2.2 Tujuan Khusus
(1) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan
gejala, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, serta
komplikasi dari penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE).
(2) Mahasiswa dapat
menambah wawasan baru mengenai penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam
sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue- binding autoantibody
dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai
sistem organ namun sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan perjalanan
penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan
eksaserbasi disertaioleh terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Sistem
imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman,
virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem
imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena
itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan
di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau
erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh
karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir seluruh
bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain
tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu
berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Gejala-gejala
SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggota-anggota badan, ruam ini
tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan meninggalkan parut, ulser
di dalam mulut, keguguran rambut, demam berkepanjangan, dan penderita akan
sensitif terhadap pancaran sinar matahari.
Penyakit LUPUS adalah
penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap
penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit
Lupus mencapai 5 juta orang, lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap
tahunnya.
Arti kata lupus sendiri
dalam bahasa Latin berarti “anjing hutan”. Istilah ini mulai dikenal sekitar
satu abad lalu. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan
kulit, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi . Bercak-bercak merah di
bagian wajah dan lengan, panas dan rasa lelah berkepanjangan , rambutnya
rontok, persendian kerap bengkak dan timbul sariawan. Penyakit ini tidak hanya
menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di
dalam tubuh.
Gejala-gejala penyakit
dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus. Eritomatosus
artinya kemerahan. sedangkan sistemik bermakna menyebar luas keberbagai organ
tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala yang umum dijumpai
adalah:
1.
Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta
timbulnya gangguan pencernaan.
2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan
yang berlebihan, demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada
masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.
3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua
pipi, mirip kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah
menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan
kadang-kadang bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka wanita yang
sudah terserang dua atau lebih gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus.
4.
Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang
dihancurkan oleh penyakit LUPUS ini
5.
Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan
Dr. Rahmat Gunadi dari Fak. Kedokteran
Unpad/RSHS menjelaskan, penyakit lupus adalah penyakit sistem imunitas di mana
jaringan dalam tubuh dianggap benda asing. Reaksi sistem imunitas bisa mengenai
berbagai sistem organ tubuh seperti jaringan kulit, otot, tulang, ginjal,
sistem saraf, sistem kardiovaskuler, paru-paru, lapisan pada paru-paru, hati,
sistem pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan sel-sel darah.
“Penyakit ini dapat mengenai semua lapisan
masyarakat, 1-5 orang di antara 100.000 penduduk, bersifat genetik, dapat
diturunkan. Wanita lebih sering 6-10 kali daripada pria, terutama pada usia
15-40 tahun. Bangsa Afrika dan Asia lebih rentan dibandingkan kulit putih. Dan
tentu saja, keluarga Odapus. Timbulnya penyakit ini karena adanya faktor
kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan,
terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stres,” ujarnya. Penyakit
ini justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun
sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Oleh karena itu dianggap diduga penyakit
ini berhubungan dengan hormon estrogen.
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita
lupus, sering diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus,
gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk geja LUPUS. Sering dijumpai
gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.
Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang
penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, dalam penyakit ini kekebalan tubuh
justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan
sistem imunologi yang berlebih. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang
berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya,
penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan.
Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat.
Kelainan ini disebut autoimunitas . Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke
seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung
menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan
selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah
merah atau anemia.
Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen
(zat perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks
imun.Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di
pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal,
kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan
abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang
tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di
sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan
merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan
terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka
panjang fungsi organ tubuh akan terganggu.
Kesembuhan total dari penyakit ini, tampaknya
sulit. Dokter lebih berfokus pada pengobatan yang sifatnya sementara.Lebih
difokuskan untuk mencegah meluasnya penyakit dan tidak menyerang organ vital
tubuh.
2.2 Epidemiologi
SLE
lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15–64 tahun.
Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan
usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda–beda untuk
tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus
per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi
terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New
Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak
50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam
100.000 populasi (Bartels, 2006).
2.3 Etiologi
Faktor
Resiko terjadinya SLE
1.
Faktor Genetik
·
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih
sering dari pada pria dewasa
·
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
·
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering
dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2.
Faktor Resiko Hormon
Hormon
estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3.
Sinar UV
Sinar
Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan
sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada
pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat
tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum dalam
jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE). Jenisobat yang dapat
menyebabkan Lupus Obat adalah :
·
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
·
Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin,
penisilamin, dan kuinidin
·
Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis
antibiotic dan griseofurvin
6. Infeksi
Pasien
SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh
setelah infeksi
7. Stres
Stres
berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan
penyakit ini.
2.4 Klasifikasi
Penyakit
Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic
Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
·
Discoid Lupus
Lesi
berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena
lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
·
Systemic Lupus Erythematosus
SLE
merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan
fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
· Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus
yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh
tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
2.5 Patofisiologi
Penyakit SLE
terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
2.6 Kriteria SLE
Pada
tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria
baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini
mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu
periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi
perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar
persendiantidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang
abnormalditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika
diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya
eritemaberbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung
(wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap
sinar UV /matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
·
anemia hemolitik,
·
Leukosit < 4000/mm³,
·
Limfosit<1500/mm³,
·
Trombosit <100.000/mm³
7.
Salah satu Kelainan Ginjal;
·
Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
·
Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih
yang berasal dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8.
Salah satu Serositis :
·
Pleuritis,
·
Perikarditis
9.
Salah satu kelainan Neurologis;
·
Konvulsi / kejang,
·
Psikosis
10.
Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang
dapatditemukan
11.
Salah satu Kelainan Imunologi
·
Sel LE+
·
Anti dsDNA diatas titer normal
·
Anti Sm (Smith) diatas titer normal
·
Tes serologi sifilis positif palsu
2.7 Manifestasi
Klinis
Jumlah dan jenis antibodi
pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi
ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana
yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan
beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala
pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi)
dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya
menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
• Muskuloskleletal
Hampir
semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakanmenderitaar
tr itis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari tangan,
tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang panggul dan
bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerahtersebut.
• Integumen
Pada
50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang
terpapar oleh sinar matahari.
• Ginjal
Sebagian
besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi
hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal
yangmenetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga
penderita perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan ginjal.
• Sistem Neuron
Kelainan
saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling seringditemukan adalah
disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa terjadi pada bagian
manapun dari otak, korda spinalis maupun sistemsaraf. Kejang,ps
ikos a, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakanbeberapa kelainan
sistem saraf yang bisa terjadi.
• Sistem
Hematologi
Kelainan
darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di
dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkanstroke danemboli
paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang
melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
• Sistem Kardiovaskuler
Peradangan
berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar
ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa
terjadi sebagai akibat darikeadaan tersebut.
• Sistem Respirasi
Pada
lupus bisa terjadipleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari
keadaantersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
2.8 Pemeriksaan Laboratorium
- Anti ds-DNA
Batas normal : 70 –
200 IU/mL
Negatif
: < 70 IU/mL
Positif
: >
200 IU/mL
Antibodi
ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan
penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang
tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang
(dorman).
Antibodi
anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari
antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA)
dan yang menyerang single-stranded DNA (anti
ss-DNA). Anti ss-DNA kurang
sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain.
Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis
saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit
tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana,
2002).
- Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA
digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel.
ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif
terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena
ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium
yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka
sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa
bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm),
anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana
and Pagana, 2002).
- Tes Laboratorium lain
Tes
laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker
reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive
Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count
(CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase
(Pagana and Pagana, 2002).
2.9
Tinjauan Pengobatan SLE
Tujuan
dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,
memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari
penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi
dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi
dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga
sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan
SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al.,
2000).
- Terapi nonfarmakologi
Gejala
yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu
berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam
tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya
SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002).
Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU
and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4,
IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et
al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian
tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan
sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar
rumah (Delafuente, 2002).
- Terapi farmakologi
Terapi
farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan
lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap
pasien.
- NSAID
Merupakan
terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi
nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX
inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2
muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin,
interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1
merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari
ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet,
dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan
NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik,
kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan
inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non
selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50%
(Neal, 2002).
Terapi
pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada
pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID.
Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka
dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari
satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya
sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat
digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria
tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
- Antimalaria
Antimalaria efektif
digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau
serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa
mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom
sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan
antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan
aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α
(TNF- α).
Pemberian antimalaria
dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien
mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien
memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi.
Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan
memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian
obat (Herfindal et al., 2000).
- Kortikosteroid
Penderita
dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada
kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan
kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme
kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah
fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2
serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi
ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid
dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit,
menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi
kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan
memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung,
2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi,
imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang
abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya
menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy)
untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping
yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil
prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison
secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan
kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang
berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan
penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk.
Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid
Kadar komplemen dan
antibodi DNA dalam
serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu.
Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik,
abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral
prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya
lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy.
Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada
pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit
terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu
kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka
dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan
untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan
melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari
atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati
karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan
supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada
penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia,
lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan
penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ
besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan
untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif
untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi
sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah
selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun
sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah
satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien
yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan
absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium
diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien
SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan
vitamin D (Rahman, 2001).
- Siklofosfamid
Digunakan
untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan
pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas
mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA
yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam
inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung
pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis
tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko
terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara
rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu
diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse
therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid
juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus
nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi
pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas
end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek
samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan
alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat
antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada
wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al.,
2000).
- Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA)
merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan
berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7
tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya
usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini
memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping
jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in
vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan
untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara
in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
- Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian
imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh
mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes
zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and
Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian
antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama
5–7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan
kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002).
Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan
karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga
dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya
infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B,
flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
2.10 Asuhan Keperawatan
- Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan
fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti
keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam
eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium
yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler
dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di
ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi,
nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit
yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta
pipi.
Ulkus
oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis
atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada
arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema
dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi
depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi
SSP lainnya.
Masalah Keperawatan
1. Nyeri
2. Keletihan
3. Gangguan integritas kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik
5. Gangguan citra tubuh
- Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
- Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
- Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
- Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
- Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
- Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi
dan kerusakan jaringan.
Tujuan :
perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan
kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur
busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan
perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang
dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan
pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang
rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien
untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang
belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang
membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada
rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan
tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk
mengubah.
Intervensi :
1.
Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara
aktivitas penyakit dan keletihan
· menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan
sementara melaksanakannya
· mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk
tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
· menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres
sistemik, artikuler dan emosional
· menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk
menghemat tenaga
· kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan
kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat
yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari
makanan dan suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada
saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan
mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan
dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi
okupasi/fisioterapi :
· Menekankan kisaran
gherak pada sendi yang sakit
· Meningkatkan pemakaian
alat bantu
· Menjelaskan pemakaian
alas kaki yang aman.
· Menggunakan
postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika
diperlukan.
· Memberikan waktu yang
cukup untuk melakukan aktivitas
· Memberikan kesempatan
istirahat sesudah melakukan aktivitas.
· Menguatkan kembali
prinsip perlindungan sendi
4. Gangguan citra tubuh
berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang
diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi
antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan
enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk
mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi
perasaan, persepsi dan rasa takut
· Membantu menilai
situasi sekarang dan menganli masahnya.
· Membantu menganli
mekanisme koping pada masa lalu.
· Membantu mengenali
mekanisme koping yang efektif.
5. Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan :
pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang
sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban
dari kulit
c. Jaga dengan cermat
terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang
terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk
menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian
NSAID dan kortikosteroid.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE
(Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan
interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang
semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel
B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody polispesifik.
Selain
itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Tampaknya
semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan urine yang
abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis rematoid atau
demam rheumatic.
3.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota
keluarga atau saudara kita terkena penyakit SLE dan sedang menjalani
pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka
penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik
akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya
penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk
penyakit ini ketika masih ringan.
Daftar Pustaka
0 Komentar untuk "ASKEP SLE Sistemic Lupus Erithemathosus"